Aceh Selatan, Dari Negeri Pala Hijrah Jadi Negeri Tambang - Kabar Kita

Aceh Selatan, Dari Negeri Pala Hijrah Jadi Negeri Tambang

Aceh Selatan, daerah yang terkenal dengan keindahan alam dan kekayaan sumber daya alamnya, kini sedang dihadapkan pada sebuah dilema. Di satu sisi, kebutuhan ekonomi dan kemajuan teknologi memacu eksploitasi sumber daya alam di daerah ini. Namun, di sisi lain, dampak negatif dari kegiatan tersebut mulai terasa, baik dari segi lingkungan maupun sosial.

Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat Aceh Selatan dikejutkan dengan laporan tentang PT. BMU yang diduga melakukan kegiatan penambangan emas tanpa izin. Perusahaan ini sebelumnya dikenal memiliki izin untuk menambang bijih besi, bukan emas. Skandal ini mencuat ke permukaan ketika dokumen-dokumen yang mencurigakan mulai beredar dan menunjukkan adanya dugaan pelanggaran serius oleh PT. BMU.

Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. BMU di Aceh Selatan telah meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang mendalam. Salah satu dampak paling mencolok adalah pencemaran sungai akibat limbah pengolahan emas. Sungai-sungai yang sebelumnya jernih dan menjadi penopang kehidupan bagi masyarakat, kini terkontaminasi dengan warna air berubah kecoklatan tua, menandakan tingkat polusi yang tinggi. Hal ini tentunya berdampak pada ekosistem sungai dan sumber mata pencaharian masyarakat sekitar. Selain itu, deforestasi yang masif menambah daftar kerusakan. Hutan yang seharusnya menjadi paru-paru daerah, kini berkurang drastis. Data dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu Januari hingga November 2022 saja, Aceh Selatan kehilangan hutan seluas 1.704 hektar. Kondisi ini tidak hanya mengancam flora dan fauna, tetapi juga meningkatkan risiko banjir dan bencana lainnya bagi penduduk setempat.

Dengan cepat merespons laporan masyarakat dan bukti-bukti kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh PT. BMU, Pemerintah Provinsi Aceh menunjukkan komitmen tinggi dalam menjaga kesejahteraan dan kelestarian lingkungannya. Sebagai tindakan awal, pemerintah memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT. BMU. Tidak hanya itu, perusahaan tersebut juga diminta untuk membatalkan segala bentuk perjanjian yang telah disepakati dengan masyarakat lokal, termasuk soal perekrutan tenaga kerja dan pembagian hasil pertambangan. Menyikapi hal ini, organisasi lingkungan, seperti P2LH dan WALHI Aceh, memberikan dukungan penuh dan mendesak pemerintah untuk melakukan revisi terhadap perizinan PT. BMU. Mereka menuntut agar pemerintah segera meminta pertanggungjawaban dari perusahaan atas semua kerusakan yang telah ditimbulkan.

Isu pertambangan yang melibatkan PT. BMU tidak hanya menimbulkan ketegangan dengan pemerintah, tetapi juga dengan masyarakat Aceh Selatan sendiri. Insiden yang memicu perhatian publik terjadi ketika Hj Latifah Hanum, Direktur PT. BMU, mengambil langkah hukum dengan melaporkan dua aktivis masyarakat, Sutrisno dan Jumra, ke Polres Aceh Selatan. Laporan tersebut menuding keduanya melakukan perbuatan yang dianggap tidak menyenangkan selama aksi unjuk rasa. Namun, respons cepat datang dari Sutrisno dan Jumra yang merasa ada ketidakadilan dalam penanganan laporan tersebut. Keduanya tidak tinggal diam dan mengambil inisiatif untuk melaporkan kembali Polres Aceh Selatan ke Kapolri, menuding adanya kejanggalan dan potensi penyimpangan dalam proses hukum yang sedang berlangsung.

Aceh Selatan, yang selama ini dikenal sebagai salah satu sentra produksi pala terbesar di Indonesia, kini tengah menghadapi krisis serius terkait kondisi tanaman pala. Dari luasan area perkebunan pala yang mencapai 17.040 hektare, tercatat bahwa hampir sepertiga, atau tepatnya 4.906 hektare, mengalami kerusakan. Kerusakan ini disebabkan oleh serangan hama dan berbagai penyakit tanaman yang menyerang tanaman pala, mengakibatkan penurunan produktivitas dan kualitas buah pala.

Baca juga : Berharap Manggamat tak Segera Kiamat, dari Kesuburan menuju Kepiluan 

Kondisi ini tentunya menjadi keprihatinan mendalam bagi para petani pala di Aceh Selatan. Bagi mereka, pala bukan hanya sekadar tanaman, tetapi juga sumber penghidupan utama. Kerusakan tanaman pala berdampak langsung pada pendapatan petani dan ekonomi lokal, mengingat pala merupakan salah satu komoditas unggulan ekspor Aceh Selatan. Kondisi ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah daerah dan stakeholder terkait untuk segera menemukan solusi dan langkah-langkah pemulihan agar Aceh Selatan dapat kembali menjadi sentra produksi pala yang tangguh di tanah air.

Aceh Selatan saat ini berada di tengah-tengah dilema antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Keberadaan PT. BMU dan aktivitas penambangannya menjadi titik sentral dalam dinamika konflik ini. Dengan berbagai dampak negatif yang timbul, sudah saatnya semua pihak, termasuk pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, duduk bersama untuk mencari solusi terbaik bagi Aceh Selatan.[EDT/DNQ]

Bagikan ke :

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
%d bloggers like this: